Gambaran Pengetahuan Ibu Nifas Tentang Mastitis


02 Juni 2011
1.1   Latar Belakang
Sejak empat dekade yang lalu hingga saat ini jumlah wanita yang memilih menyusui sendiri bayinya mulai berkurang.  Jumlah terendah terjadi di tahun-tahun awal 70-an ketika kurang dari 40% yang memilih Air Susu Ibu (ASI), dan pada minggu keenam setelah melahirkan, kurang dari 20% memberikan Air Susu Ibu (ASI) kepada bayinya.  Sejak itu kemudian ada kecenderungan untuk kembali memberikan Air Susu Ibu (ASI), khususnya diantara wanita kelas menengah, dan sekarang 75% wanita mulai menyusui bayinya, dan 35% masih menyusui 3 bulan kemudian (Jones, Derek Llewellyn, 2005).
Penelitian terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Pediatrics, menunjukkan bahwa Air Susu Ibu (ASI) dapat memberikan perlindungan bagi bayi dalam menurunkan risiko untuk terjadinya diare, infeksi telinga dan radang selaput otak (meningitis) bakteri. Juga mampu melindungi terhadap diabeteskegemukan dan asma.  Pada penelitian sebelumnya, juga disebutkan manfaat Air Susu Ibu (ASI) dalam mencegah terjadinya sepsis (infeksi berat) pada bayi yang lahir dengan berat badan rendah.  Bukan hanya itu saja, sang ibu juga memperoleh manfaat yang tidak kalah besarnya. Menyusui mampu untuk menurunkan risiko untuk menderita kanker indung telur dan kanker payudara, dan menurunkan risiko terjadinya patah tulang panggul dan osteoporosis (keropos tulang) saat menopause nantinya. Penelitian sebelumnya juga menyebutkan akan perlindungan pada ibu dalam menurunkan risiko untuk menderita Rematoid Arthritis hingga 30% (baby-kids.blogspot.com, 2005).
Pada tahun 2003 Universal Childern Foundation (UNICEF) menyatakan bahwa pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif sampai usia enam bulan dapat mencegah kematian 1,3 juta anak berusia di bawah lima tahun. Suatu penelitian di Ghana yang diterbitkan jurnal Pediatrics menunjukkan, 16% kematian bayi dapat dicegah melalui pemberian Air Susu Ibu (ASI) pada bayi sejak hari pertama kelahirannya. Angka ini naik menjadi 22% jika pemberian Air Susu Ibu (ASI) dimulai dalam satu jam pertama setelah kelahiran bayi (Kompas, 2007).
Menurut Wisnuwardhani (2005) masalah yang timbul selama menyusui dapat dimulai sejak sebelum persalinan (periode antenatal), masa pascapersalinan dini (masa nifas/laktasi), dan masa pascapersalinan lanjut. Masalah menyusui dapat timbul pula karena keadaan-keadaan khusus.  Salah satu masalah yang cukup serius selama masa menyusui yaitu peradangan pada payudara atau disebut juga mastitis.  Mastitis adalah peradangan yang terjadi pada payudara wanita menyusui dalam masa nifas. Bagian yang terkena mastitis umumnya menjadi merah, bengkak, nyeri dan panas, selain itu temperatur badan ibu meninggi dan kadang disertai menggigil. Kejadian ini biasanya terjadi 1-3 minggu setelah melahirkan, akibat lanjutan dari sumbatan saluran susu.  Bila mastitis berlanjut, dapat terjadi abses payudara. Ibu tampak sakit lebih parah, payudara lebih merah dan mengkilap, benjolan tidak lagi sekeras pada mastitis, tetapi mengandung cairan (pus).
Semakin disadari bahwa pengeluaran Air Susu Ibu (ASI) yang tidak efisien akibat dari teknik menyusui yang buruk merupakan penyebab penting terjadinya mastitis.  Mastitis dan abses payudara terjadi pada semua populasi dengan atau tanpa kebiasaan menyusui.  Insiden yang dilaporkan bervariasi dan sedikit sampai 33% wanita menyusui, tetapi biasanya di bawah 10% (WHO, 2003).
Pada tahun 2005 Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa jumlah kasus infeksi payudara yang terjadi pada wanita seperti kanker, tumor, mastitis, penyakit fibrocustic terus meningkat, dimana penderita kanker payudara mencapai hingga lebih 1,2 juta orang yang terdiagnosis,  dan 12% diantaranya merupakan infeksi payudara berupa mastitis pada wanita pasca post partum.  Data ini kemudian didukung oleh The American Cancer Society yang memperkirakan 211.240 wanita di Amerika Serikat akan didiagnosis menderita kanker payudara invasive (stadium I-IV) tahun ini dan 40.140 orang akan meninggal karena penyakit ini. Sebanyak 3 persen kasus kematian wanita di Amerika disebabkan oleh kanker payudara.  Sedangkan di Indonesia hanya 0,001/100.000 angka kesakitan akibat infeksi berupa mastitis (Depkes RI, 2008).
Masalah-masalah menyusui yang sering terjadi adalah putting susu lecet atau  nyeri.  Sekitar 57% dari ibu-ibu menyusui dilaporkan pernah menderita kelecetan pada puttingnya dan payudara bengkak.  Payudara bengkak sering terjadi pada hari ketiga dan keempat sesudah ibu melahirkan, karena terdapat sumbatan pada satu atau lebih duktus laktiferus dan mastitis serta abses payudara yang merupakan kelanjutan atau komplikasi dari mastitis yang disebabkan karena meluasnya peradangan payudara.  Sehingga dapat menyebabkan tidak terlaksananya Air Susu Ibu (ASI) eksklusif (Soetjiningsih, 1997).
Menurut hasil Laporan Dinas Kesehatan Propinsi Aceh tahun 2011 jumlah sasaran ibu nifas di provinsi Aceh sebanyak 100.486 jiwa, Berdasarkan data di RSUZA  tahun 2011, diketahui jumlah ibu nifas tahun 2010-2011 yaitu ada 8725 orang. dan yang mengalami mastitis berjumlah 108 orang. Dimana hal ini berkaiotan dengan pemberian ASI seperti diketahui salah satu manfaat Air Susu Ibu (ASI) bagi sang bayi yang diberikan oleh ibu pada saat bayi berusia 0 – 2 tahun adalah untuk melindungi bayi terhadap infeksi seperti infeksi gastro-intestinal, pernafasan dan virus (Dinkes Provinsi Aceh, 2011).
Berdasarkan latar belakang dan fenomena tersebut di atas, peneliti sangat tertarik untuk meneliti tentang “Gambaran Pengetahuan Ibu pada masa nifas Tentang Mastitis di Ruang Kebidanan RSUZA”


pengaruh karakteristik individu (pendidikan, masa kerja, pengalaman kerja, pelatihan) dan motivasi (tanggung jawab, pengakuan, pengembangan, kondisi kerja, imbalan) terhadap kompetensi bidan dalam perawatan bayi baru lahir di RSIA Pemerintah Aceh.

Maret, 2011

Pelayanan kesehatan maternal dan neonatal merupakan salah satu unsur penentu status kesehatan. Pelayanan kesehatan neonatal dimulai sebelum bayi dilahirkan, melalui pelayanan kesehatan yang diberikan kepada ibu hamil. Pertumbuhan dan perkembangan bayi periode neonatal merupakan periode yang paling kritis karena dapat menyebabkan kesakitan dan kematian bayi.
Setiap tahun diperkirakan 4 juta bayi meninggal pada bulan pertama kehidupan dan dua pertiganya meninggal pada minggu pertama. Penyebab utama kematian pada minggu pertama kehidupan adalah komplikasi kehamilan dan persalinan seperti asfiksia, sepsis dan komplikasi berat lahir rendah. Kurang lebih 98% kematian ini terjadi di negara berkembang dan sebagian besar kematian ini dapat dicegah dengan pencegahan dini dan pengobatan yang tepat.
Berdasarkan Profil Dinas Kesehatan Pemerintah Aceh tahun 2010 angka kematian bayi di Aceh berkisar 37/1.000 kelahiran hidup, dengan jumlah kematian neonatal 655 jiwa. Penyebab kematian karena asfiksia sebanyak 180 jiwa, BBLR sebanyak 178 jiwa, infeksi sebanyak 14 jiwa, tetanus sebanyak 4 jiwa, perdarahan tali pusat 22 jiwa dan lain-lain 257 jiwa. Data dari Rumah Sakit Ibu dan Anak Pemerintah Aceh tahun 2010, jumlah kasus bayi baru lahir dengan asfiksia sebanyak 62 kasus, dan jumlah kematian bayi karena asfiksia dan komplikasi lainnya sebanyak 10 jiwa sedangkan jumlah kasus yang datang dengan peradarah tali pusat sebanyak 3 kasus yang dapat tertangani dengan baik
Bidan merupakan salah satu tenaga kesehatan yang berperan sebagai provider dan lini terdepan pelayan kesehatan yang dituntut memiliki kompetensi profesional dalam menyikapi tuntutan masyarakat di dalam pelayanan kebidanan. Kompetensi profesional bidan terkait dengan asuhan persalinan dan bayi baru lahir. Karenanya, pengetahuan, keahlian dan kecakapan seorang bidan menjadi bagian yang menentukan dalam menekan angka kematian saat melahirkan. Bidan diharapkan mampu mendukung usaha peningkatan derajat kesehatan masyarakat, yakni melalui peningkatan kualitas pelayanan kebidanan.
Menurut Spencer dan Spencer (1993) dalam Hutapea dan Thoha (2008) kompetensi didefinisikan sebagai karakteristik dasar seseorang yang ada hubungan sebab-akibatnya dengan efektivitas kerja. Wibowo (2008) mendefinisikan kompetensi adalah suatu kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang dilandasi atas keterampilan dan pengetahuan serta didukung oleh sikap kerja yang dituntut oleh pekerjaan tersebut. Kompetensi juga menunjukkan karakteristik pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki atau dibutuhkan oleh setiap individu yang memampukan mereka untuk melakukan tugas dan tanggungjawab mereka secara efektif dan meningkatkan standar kualitas profesional dalam pekerjaan mereka. Kompetensi bidan yang diperlukan untuk mampu memberikan pelayanan kebidanan apabila memilki 3 kriteria, yaitu: knowledge (pengetahuan), attitude (sikap), practise (keterampilan).
Kompetensi bidan meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku yang harus dimiliki oleh seorang bidan dalam melaksanakan praktik kebidanan secara aman dan bertanggung jawab pada berbagai tatanan pelayanan kesehatan.. Untuk memenuhi kompetensi yang diharapkan sesuai dengan persyaratan, seorang bidan harus rajin mengikuti perkembangan ilmu melalui berbagai sarana yang ada. Bidan harus menguasai standar kompetensi yang telah diatur dalam peraturan Kepmenkes RI No.369/Menkes/SK/III/2007 yang merupakan landasan hukum dari pelaksanaan praktik kebidanan.
Salah satu pelayanan kesehatan di rumah sakit adalah pelayanan kebidanan yang menangani berbagai masalah/kasus kebidanan seperti pelayanan kebidanan pada bayi baru lahir  dan yang sangat berperan dalam pemberian pelayanan kebidanan adalah bidan. Pelaksanaan pelayanan kebidanan di rumah sakit dipengaruhi oleh bidan itu sendiri, karena bidan harus memiliki kompetensi dalam memberikan pelayanan kebidanan. Faktor yang diperhitungkan dapat meningkatkan kompetensi bidan adalah tingkat pendidikan, masa kerja dan pelatihan yang diikuti dan motivasi yang dimiliki oleh bidan, karena motivasi kerja merupakan faktor yang bisa mencerminkan sikap dan karakter seseorang dalam melaksanakan tugasnya, sehingga dengan motivasi kerja yang tinggi maka bidan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan profesional . Kompetensi yang dimiliki seorang bidan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap intervensi apa yang bisa diberikan bidan dalam menangani masalah kebidanan agar dapat mengurangi angka kematian.
Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Pemerintah Aceh mempunyai fungsi yang utama sebagai penyelenggara pelayanan dan asuhan kebidanan serta keperawatan ibu dan anak, yang memberi kontribusi yang besar terhadap misi pemerintah Aceh terhadap pelayanan kesehatan terutama terhadap kesehatan ibu dan anak. Berdasarkan data yang diperoleh penulis dari RSIA Pemerintah Aceh, bidan yang bertugas sebanyak 46 orang bidan yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda. Hasil interview dengan beberapa bidan yang bertugas di RSIA Pemerintah Aceh diperoleh informasi bahwa bidan masih kurang termotivasi pada pekerjaannya karena minimnya kesempatan mengikuti pelatihan-pelatihan asuhan kebidanan yang akan meningkatkan kompetensi mereka dalam memberikan pelayanan kebidanan, penghargaan terhadap pekerjaan yang dilakukan masih rendah, sarana dan prasarana yang belum memadai, belum maksimalnya pelayanan kebidanan yang diberikan karena tanggung jawab yang berat karena banyaknya pasien. Selanjutnya pengetahuan dan keterampilan bidan dalam menangani kasus – kasus bayi baru lahir dengan resiko tinggi seperti asfiksia bayi baru lahir masih kurang, dalam menangani kasus asfiksia mereka berpedoman pada buku acuan asuhan kebidanan dan Standart Operational Procedur (SOP) rumah sakit, keadaan ini disebabkan belum semua bidan memperoleh kesempatan untuk mengikuti pelatihan, dan pengalaman kerja mereka yang berbeda- beda.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh karakteristik individu (pendidikan, masa kerja, pengalaman kerja, pelatihan) dan motivasi (tanggung jawab, pengakuan, pengembangan, kondisi kerja, imbalan) terhadap kompetensi bidan dalam perawatan bayi baru lahir di RSIA Pemerintah Aceh.

Kinerja Bidan

02 Juni 2010


Bidan merupakan salah satu tenaga kesehatan yang berperan sebagai provider
dan lini terdepan pelayan kesehatan yang dituntut memiliki kompetensi profesional  dalam menyikapi tuntutan masyarakat di dalam pelayanan kebidanan. Kompetensi profesional bidan terkait dengan asuhan persalinan dan bayi baru lahir.  Karenanya, pengetahuan, keahlian dan kecakapan seorang bidan menjadi bagian yang menentukan dalam menekan angka kematian saat melahirkan. Bidan diharapkan mampu mendukung usaha peningkatan derajat kesehatan masyarakat, yakni melalui peningkatan kualitas pelayanan kebidanan. .(Hidayat, A dan Sujiatini, 2010) 

Peningkatan kualitas pelayanan kebidanan ini hanya dapat dicapai melalui pelayanan tenaga yang profesional dan berkompeten. Bidan dalam  memberikan pelayanan kebidanan kepada masyarakat haruslah memiliki kompetensi, kurangnya pengetahuan dan keterampilan bidan dapat menyebabkan hal-hal yang seringkali menjadi penyebab kematian  bayi, seperti  bidan tidak memiliki kemampuan dan keterampilan manajemen asfiksia pada bayi baru lahir, terlambat merujuk, terlambat mengambil keputusan, sehingga penanganan terlambat dilakukan. Maka kompetensi yang dimiliki seorang bidan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kualitas pelayanan  kebidanan yang diberikan.(Hidayat, A dan Sujiatini, 2010) 

Menurut Spencer dan Spencer (1993) dalam Hutapea dan Thoha (2008) kompetensi didefinisikan sebagai karakteristik dasar seseorang yang ada hubungan sebab-akibatnya dengan efektivitas kerja. Wibowo (2008) mendefinisikan kompetensi adalah suatu kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang dilandasi atas keterampilan dan pengetahuan serta didukung oleh sikap kerja yang dituntut oleh pekerjaan tersebut. Kompetensi juga menunjukkan karakteristik pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki atau dibutuhkan oleh setiap individu yang memampukan mereka untuk melakukan tugas dan tanggungjawab mereka secara efektif dan meningkatkan standar kualitas profesional dalam pekerjaan 
mereka. Kompetensi bidan yang diperlukan untuk mampu memberikan pelayanan kebidanan apabila memilki 3 kriteria, yaitu:  knowledge (pengetahuan),  attitude (sikap), practise (keterampilan). (Fabulous. M, 2009) 

Untuk memberikan pelayanan kebidanan yang profesional dan berkualitas, dibutuhkan pengembangan kemampuan pribadi yang meliputi pengetahuan keterampilan, sikap profesi. Kompetensi bidan meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku  yang harus dimiliki oleh seorang bidan dalam melaksanakan praktik kebidanan secara aman dan bertanggung jawab pada berbagai tatanan pelayanan kesehatan. Tingkat pengetahuan dipengaruhi oleh faktor pendidikan seorang bidan. Biasanya dengan makin tinggi pendidikan yang dicapai, penerimaan akan lebih mudah karena dengan pendidikan seseorang dapat berfikir secara rasional dan terbuka terhadap ide-ide baru dan perubahan. Selain itu pendidikan juga berpengaruh secara tidak langsung melalui peningkatan status sosial kedudukan seorang wanita. Peningkatan melakukan terhadap kehidupan, peningkatan kemampuan untuk membuat keputusan sendiri dan menyatukan pendapat, wanita yang berpendidikan lebih mudah mendapat pelayanan kesehatan karena mereka menyadari sepenuhnya manfaat pelayanan kesehatan tersebut (Royston dan Amstrong, 2004).

Untuk memenuhi kompetensi yang diharapkan sesuai dengan persyaratan, seorang bidan harus rajin mengikuti perkembangan ilmu melalui berbagai sarana yang ada. Bidan harus menguasai standar kompetensi yang telah diatur dalam peraturan Kepmenkes RI No.369/Menkes/SK/III/2007 yang merupakan landasan hukum dari pelaksanaan praktik kebidanan. (Soepardan, 2010).

Pada masa sekarang ini pendidikan menjadi suatu kebutuhan bagi setiap individu. Pendidikan bukan hanya dapat mengubah seseorang yang dianggap bodoh menjadi pintar, tetapi lebih dari itu pendidikan dapat mengubah citra dari sebuah komunitas (masyarakat atau negara) kearah yang lebih baik. Peningkatan kualitas institusi pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan Kebidanan merupakan tantangan penting untuk tersedianya tenaga kebidanan yang bermutu tinggi. Pengaruh globalisasi akan menyebabkan lebih banyak terjadi masuknya tenaga kerja asing, karena itu mutu tenaga kebidanan harus ditingkatkan menjadi berstandart internasional.


Menurut Michael Zwell dalam Wibowo (2008) ada beberapa faktor yang memengaruhi kompetensi seseorang  antara lain faktor-faktor seperti  keyakinan dan nilai-nilai, keterampilan, pengalaman, karakteristik,  motivasi,  isu emosional, kemampuan intelektual dan budaya organisasi.  

Epistaksis (Mimisan)


Epistaksis atau perdarahan hidung sering ditemukan sehari-hari, dan hampir 90% dapat berhenti sendiri. Epistaksis bukan merupakan suatu penyakit, melainkan sebagai gejala dari suatu kelainan.
Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat menjengkelkan dan mengganggu. Ia dapat pula mengancam nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara efektif. Perdarahan hidung tampak lebih sering terjadi pada masa awal kanak-kanak sampai pubertas. Walaupun pada kelompok usia tersebut biasanya tidak serius. Epistaksis berat atau yang mengancam jiwa tampaknya meningkat dengan bertambahnya usia.
Epistaksis adalah masalah klinis yang berbahaya, terutama bila berasal dari posterior. Sembilan puluh persen epistaksis berasal spontan dari pleksus pembuluh darah superfisialis didalam septum anterior inferior, dan lebih mudah ditangani dibandingkan epistaksis posterior, yang 10% pasien dari pembuluh darah di dalam dinding hidung lateral dekat nasofaring dan disertai dengan mortalitas 4% sampai 5%. Prevalensi epistaksis tidak banyak diketahui oleh karena episode terjadi epistaksis ini sendiri tidak banyak dilaporkan. Frekuensi epistaksis di United States (US) sulit ditentukan karena kebanyakan dari episode epistaksis ini dapat berhenti sehingga tidak banyak orang yang melaporkan kejadian ini ke rumah sakit atau pelayanan kesehatan lainnya. Prevalensi terjadinya epistaksis ini kebanyakan pada pria (58%) daripada wanita (42%). Menurut Petruson melaporkan studi kasus di Skandinavia bahwa 60% pernah mengalami epistaksis, 4% mengalami epistaksis berulang, 6% berobat ke dokter, 15% epistaksis pada anak.
Mimisan seringkaIi tejadi pada anak-anak, hal ini disebabkan karena pembuluh darah rongga hidungnya masih tipis dan rapuh sehingga mudah pecah. Pada anak-anak mimisan sering terjadi akibat mengorek hidung atau akibat benda asing yang sengaja dimasukkan oleh anak ke dalam hidungnya saat bermain. Angka kejadian secara nasional diketahui mimisan sekitar 15% pada anak-anak, tetapi hanya sekitar 1% yang betul-betul memerlukan penanganan dokter untuk mengatasi perdarahannya.
II.1. Definisi
Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal atau sebab umum (kelainan sistemik).
II.2. Etiologi
Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.
1. penyebab local :
- Idopatik (85% kasus) biasanya merupakan epistaksis ringan dan berulang pada anak dan remaja.
- Trauma ; epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengorek hidung, bersin, mengeluarkan ingus dengan kuat, atau sebagai akibat trauma yang hebat seperti terpukul, jatuh, kecelakaan lalu lintas.
- Iritasi ; epistaksis juga timbul akibat iritasi gas yang merangsang, zat kimia, udara panas pada mukosa hidung.
- Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan udaranya sangat kering.
- Benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan epistaksis ringan unilateral disertai ingus yang berbau busuk.
- Infeksi, misalnya pada rhinitis, sinusitis akut maupun kronis serta vestibulitis.
- Tumor, baik jinak maupun ganas yang terjadi di hidung, sinus paranasal maupun nasofaring.
- Iatrogenic, akibat pembedahan atau pemakaian semprot hidung steroid jangka lama.
2. penyebab sistemik :
- Penyakit kardiovaskular, misalnya hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti yang dijumpai pada arteriosclerosis, nefritis kronis, sirosis hepatic, sifilis dan diabetes mellitus. Epistaksis juga dapat terjadi akibat peninggian tekanan vena seperti pada emfisema, bronchitis, pertusis, pneumonia, tumor leher dan penyakit jantung. Epistaksis juga dapat terjadi pada pasien yang mendapat obat anti koagulan (aspirin, walfarin, dll).
- Infeksi, biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, morbili, demam tifoid.
- Kelainan endokrin misalnya pada kehamilan, menarche, menopause.
- Kelainan congenital, biasanya yang sering menimbulkan epistaksis adalah hereditary haemorrhagic teleangiectasis atau penyakit Osler-Weber-Rendu.
II.3. Patofisiologi
Terdapat dua sumber perdarahan yaitu bagian anterior dan posterior. Pada epistaksis anterior, perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach (yang paling sering terjadi dan biasanya pada anak-anak) yang merupakan anastomosis cabang arteri ethmoidakis anterior, arteri sfeno-palatina, arteri palatine ascendens dan arteri labialis superior.
Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri ethmoidalis posterior. Epistaksis posterior sering terjadi pada pasien usia lanjut yang menderita hipertensi, arteriosclerosis, atau penyakit kardiovaskuler. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan.
Perdarahan yang hebat dapat menimbulkan syok dan anemia, akibatnya dapat timbul iskemia serebri, insufisiensi koroner dan infark miokard, sehingga dapat menimbulkan kematian. Oleh karena itu pemberian infuse dan tranfusi darah harus cepat dilakukan.
II.4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang bertujuan untuk menilai keadaan umum penderita, sehingga pengobatan dapat cepat dan untuk mencari etiologi.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan darah tepi lengkap, fungsi hemostatis, uji faal hati dan faal ginjal.
Jika diperlukan pemeriksaan radiologik hidung, sinus paranasal dan nasofaring dapat dilakukan setelah keadaan akut dapat diatasi.
II.5. Penatalaksanaan
Pertama-tama keadaan umum dan tanda vital harus diperiksa. Anamnesis singkat sambil mempersiapkan alat, kemudian yang lengkap setelah perdarahan berhenti untuk membantu menentukan sebab perdarahan.
Penanganan epistaksis yang tepat akan bergantung pada suatu anamnesis yang cermat. Hal-hal penting adalah sebagai berikut :
  1. riwayat perdarahan sebelumnya
  2. lokasi perdarahan
  3. apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak
  4. lama perdarahan dan frekuensinya
  5. kecenderungan perdarahan
  6. riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
  7. hipertensi
  8. diabetes mellitus
  9. penyakit hati
  10. gangguan anti koagulan
  11. trauma hidung yang belum lama
  12. obat-obatan misalnya aspirin, fenilbutazon (butazolidin).
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu keadaan umum pasien.
Dampak hilangnya darah harus ditentukan terlebih dahulu sebelum melakukan usaha mencari sumber perdarahan dan menghentikannya. Walaupun sudah dihentikan, kemungkinan fatal untuk beberapa jam kemudian untuk seorang pasien tua yang mengalami perdarahan banyak akibat efek kehilangan darahnya adalah lebih besar jika dibanding dengan akibat perdarahan (yang terus berlangsung) itu sendiri. Penilaian klinis termasuk pengukuran nadi dan tekanan darah akan menunjukkan apakah pasien berada dalam keadaan syok. Bila ada tanda-tanda syok segera infuse plasma expander.
II.5.1. Menghentikan perdarahan
Menghentikan perdarahan secara aktif, seperti kaustik dan pemasangan tampon, lebih baik daripada pemberian obat hemostatik sambil menunggu epistaksis berhenti dengan sendirinya.
Posisi penderita sangat penting, sering terjadi pasien dengan perdarahan hidung harus dirawat dengan posisi tegak agar tekanan vena turun. Sedangkan kalau sudah terlalu lemah, dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggungnya, kecuali sudah dalam keadaan syok.
Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk membersihkan hidung dari bekuan darah. Kemudian tampon kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/10.000 dan lidocain atau pantocain 2 % dimasukkan ke dalam rongga hidung, untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri pada waktu tindakan-tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan cara ini dapatlah ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau posterior.
Perdarahan anterior seringkali berasal dari septum bagian depan. Bila sumbernya terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti 20-30%, atau dengan larutan Asam Trikloroasetat 10%, atau dapat juga dengan elektrokauter.
Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan pemasangan tampon anterior, dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin atau salep antibiotik. Pemakaian vaselin atau salep pada tampon berguna agar tampon tidak melekat, untuk menghindari berulangnya perdarahan ketika tampon dicabut. Tampon dimasukkan melalui nares anterior dan harus dapat menekan tempat asal perdarahan. Tampon ini dapat dipertahankan selama 1-2 hari.
Bila hanya memerlukan tampon hidung anterior dan tanpa adanya gangguan medis primer, pasien dapat diperlakukan sebagai pasien rawat jalan dan diberitahu untuk duduk tegak dengan tenang sepanjang hari, serta kepala sedikit ditinggikan pada malam hari. Pasien tua dengan kemunduran fisik harus dirawat di rumah sakit.
Perdarahan posterior lebih sulit diatasi sebab biasanya perdarahan hebat dan sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq.
Tampon ini terbuat dari kasa padat berbentuk bulat atau kubus berdiameter kira-kira 3 cm. Pada tampon ini terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah pada satu sisi dan sebuah pada sisi lainnya. Tampon harus dapat menutupi koana (nares posterior).
Untuk memasang tampon posterior ini kateter karet dimasukkan melalui kedua nares anterior sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar melalui mulut. Kedua ujung kateter kemudian dikaitkan masing-masing pada 2 buah benang pada tampon Bellocq, kemudian kateter itu ditarik kembali melalui hidung. Kedua ujung benang yang sudah keluar melalui nares anterior kemudian ditarik dan dengan bantuan jari telunjuk, tampon ini didorong ke nasofaring. Jika dianggap perlu, jika masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior ke dalam cavum nasi. Kedua benang yang keluar dari anres anterior itu kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Benang yang terdapat di rongga mulut terikat pada sisi lain dari tampon Bellocq, dilakatkan pada pipi pasien. Gunanya adalah untuk menarik tampon ke luar melalui mulut setelah 2-3 hari. Obat hemostatik diberikan juga di samping tindakan penghentian perdarahan itu.
Pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan tampon anterior maupun posterior, dilakukan ligasi arteri. Arteri tersebut antara lain arteri karotis interna, arteri maksilaris interna, arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior dan anterior.
II.5.2. Mencegah komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis sendiri atau sebagai akibat usaha penanggulangan epistaksis.
Sebagai akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi syok dan anemia. Turunnya tekanan darah mendadak dapat menimbulkan iskemia serebri, insufisiensi koroner dan infark miokard, sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infusi atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya.
Pemasangan tampon dapat menyebabkan sinusitis, otitis media dan bahkan septikemia. Oleh karena itu antibiotik haruslah selalu diberikan pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut, meskipun akan dipasang tampon baru, bila masih ada perdarahan.
Selain itu dapat juga terjadi hemotimpanum, sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba Eustachius, dan air mata yang berdarah (bloody tears), sebagai akbat mengalirnya darah secara retrograde melalui duktus nasolakrimalis.
Laserasi palatum mole dan sudut bibir terjadi pada pemasangan tampon posterior, disebabkan oleh benang yang keluar melalui mulut terlalu ketat dilakatkan di pipi.
II.5.3. Mencegah epistaksis minor berulang
Saat pertama kali datang, pasien mungkin tidak dalam keadaan perdarahan aktif, namun mempunyai riwayat epistaksis berulang dalam beberapa minggu terakhir. Biasanya berupa serangan epistaksis ringan yang berulang beberapa kali.
Pemeriksaan hidung dalam keadaan ini dapat mengungkap adanya pembuluh-pembuluh yang menonjol melewati septum anterior, dengan sedikit bekuan darah. Pembuluh tersebut dapat dikauterisasi secara kimia atau listrik. Penggunaan anestetik topical dan agen vasokonstriktor, misalnya larutan kokain 4% atau Xilokain dengan epinefrin, selanjutkan lakukan kauterisasi, misalnya dengan larutan asam trikloroasetat 50% pada pembuluh tersebut.
Perdarahan berulang dari suatu pembuluh darah septum dapat diatasi dengan meninggikan mukosa setempat dan kemudian membiarkan jaringan menata dirinya sendiri, atau dengan merekonstruksi deformitas septum dasar, untuk menghilangkan daerah-daerah atrofi setempat dan lokasi tegangan mukosa.
Pada perdarahan hidung ringan yang berulang dengan asal yang tidak diketahui, dokter harus menyingkirkan tumor nasofaring atau sinus paranasalis yang mengikis pembuluh darah. Sinusitis kronik merupakan penyebab lain yang mungkin. Akhirnya pemeriksa harus mencari gangguan patologik yang terletak jauh seperti penyakit ginjal dan uremia, atau penyakit sistemik seperti gangguan koagulasi. Agar epistaksis tidak berulang, haruslah dicari dan diatasi etiologi dari epistaksis.
KESIMPULAN
Epistaksis atau perdarahan hidung sering ditemukan sehari-hari dan bukan merupakan suatu penyakit, melainkan sebagai gejala dari suatu kelainan.
Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik. Sebab local antara lain : idiopati, trauma, infeksi hidung dan sinus paranasal, tumor, pengaruh lingkungan, benda asing dan rinolit. Sebab sistemik yaitu penyakit kardiovaskular, kelainan darah, infeksi sistemik, gangguan endokrin, kelainan congenital.
Pada epistaksis anterior, perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach (yang paling sering terjadi dan biasanya pada anak-anak). Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri ethmoidalis posterior, sering terjadi pada pasien usia lanjut yang menderita hipertensi, arteriosclerosis, atau penyakit kardiovaskuler dan perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan.
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu menghentikan perdarahan secara aktif seperti dengan cara kaustik dan pemasangan tampon, mencegah komplikasi baik sebagai akibat langsung epistaksis atau akibat usaha penanggulangan epistaksis dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu keadaan umum pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Nuty dan Endang, Epistaksis, dalam : Efianty, Nurbaiti, editor, Buku Ajar Ilmu Kedokteran THT, Kepala dan Leher, ed. 5, Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2002, 125-129
Peter A. Hilger, MD, Penyakit Hidung, dalam : Harjanto, Kuswidayati, editor, BOIES, Buku Ajar Penyakit THT, EGC, Jakarta, 1997, 224-233
Mansjoer, Arif., et al (eds), Kapita Selekta Kedokteran ed.III, jilid 1, FKUI, Media Aesculapius, Jakarta. 1999.pp; 96-99
Mark A. Graber dan Laura Beaty, Otolaringologi, dalam : Dewi, Susilawati, editor, Buku Saku Kedokteran Keluarga University of IOWA, ed.3, EGC, Jakarta, 2006, 745-747

Kesulitan Makan Pada Anak


Anak balita yang berusia 1–5 tahun merupakan kelompok yang rawan  terhadap masalah gizi. Pada masa ini  anak mengalami pertumbuhan  dan  perkembangan yang sangat pesat, sehingga membutuhkan asupan makanan yang  cukup dan  bergizi. Makanan yang bergizi adalah makanan yang mencakup karbohidrat, vitamin, mineral, dan protein.  Makanan yang bergizi  kurang  dikonsumsi anak karena pada anak usia 1-5 tahun sering timbul masalah terutama dalam pemberian makanan karena faktor kesulitan makan pada anak (Maulana, 2007).
Kesulitan makan pada anak merupakan masalah yang sangat  sering dihadapi orang tua, dokter dan petugas kesehatan lain. Keluhan yang sering muncul adalah anak tidak mau makan, menolak makan, proses makan yang terlalu lama, hanya mau minum saja, kalau diberi makan muntah, mengeluh sakit perut,  bahkan ada yang disuruh makan marah–marah  bahkan  mengamuk. Keluhan–keluhan yang sering muncul pada balita menunjukkan tanda–tanda gangguan kesulitan makan (Ferdinand, 2008). Gangguan sulit makan sering dialami anak-anak usia 1–5 tahun. Usia 1-5 tahun biasanya anak menjadi sulit makan karena semakin bertambahnya aktivitas mereka seperti bermain dan berlari sehingga kadang mereka menjadi malas untuk makan. Selain itu, pola pemberian makan yang tidak sesuai dengan keinginan anak dapat menyebabkan anak menjadi sulit makan, sedangkan pada balita terjadi proses pertumbuhan dan perkembangan yang membutuhkan kecukupan  nutrisi. Nutrisi yang dikonsumsi pada usia balita mengalami banyak perubahan mulai dari perubahan bentuk makanan mulai dari ASI, makanan bertekstur halus dan sampai akhirnya makanan bertekstur padat sebagai asupan utama (Irwanto, 2002). Makanan padat sebagai asupan utama pada balita tidak akan bisa diberikan jika pada balita tersebut mengalami gangguan kesulitan makan. Gangguan  kesulitan makan  sangat penting diperhatikan  karena dapat mengakibatkan dampak negatif. Dampak negatif yang ditimbulkan diantaranya adalah kekurangan gizi, menurunnya daya intelegensi dan menurunnya daya tahan anak yang berakibat akan  menghambat tumbuh kembang optimal pada balita (Santoso, 2009). Prevalensi gizi kurang yang disebabkan oleh berbagai faktor salah satunya  akibat  pemenuhan nutrisi yang tidak adekuat adalah 19,2 % dan gizi buruk 8,3 %.  Penelitian yang dilakukan Fitriani (2009)  diperoleh cara pemberian makan pada anak yang mengalami kesulitan makan didapatkan makan dengan cara dipaksa yaitu disuapi (100%), suasana makan sambil bermain (87,0%), variasi makanan baik (78,0%), waktu makan tidak teratur (63,6%), frekuensi makan buruk (78,1%) dan jenis makan sesuai dengan usia (100%). Kota Banda Aceh tahun 2011 didapatkan 786 balita masuk  kategori  bawah garis merah (BGM) yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dari makanan (Aceh Tribune, 2011).

Usaha kesehatan sekolah merupakan salah satu usaha kesehatan pokok yang dilaksanakan oleh puskesmas dan juga usaha kesehatan masyarakat yang dijalankan disekolah-sekolah dengan anak didik beserta lingkungan sekolahnya sebagai sasaran utama. Usaha kesehatan sekolah berfungsi sebagai lembaga penerangan agar anak tahu bagaimana cara menjaga kebersihan diri, menggosok gigi yang benar, mengobati luka, merawat kuku dan memperoleh pendidikan seks yang sehat (Prasasti dalam Effendi, 2009).Usaha kesehatan di sekolah juga merupakan wadah untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat dan derajat kesehatan peserta didik sedini mungkin. Usaha kesehatan di sekolah merupakan perpaduan antara dua upaya dasar, yakni upaya pendidikan sekolah dan upaya kesehatan, yang diharapkan UKS dapat dijadikan sebagai usaha untuk meningkatkan kesehatan anak usia sekolah pada setiap jalur, jenis, dan jenjang pendidikan (Ananto dalam Efendi, 2009).Unit kesehatan sekolah juga memiliki definsi yaitu upaya membina dan mengembangkan kebiasaan hidup sehat yang dilakukan secara terpadu melalui program pendidikan dan pelayanan kesehatan disekolah, perguruan agama serta usaha-usaha yang dilakukan dalam rangka pembinaan dan pemeliharaan kesehatan di lingkungan sekolah (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam Nasrul,1998).UKS juga merupakan wahana untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat dan selanjutnya membentuk perilaku yang sehat sehingga menghasilkan derajat kesehatan yang optimal (Departemen Kesehatan dalam Nasrul, 1998).
Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) adalah suatu usaha  dan kegiatan yang dilakukan pihak sekolah untuk memberikan pelayanan kepada siswa yang membutuhkan pelayanan kesehatan pada tingkat pertama (pertolongan pertama). upaya terpadu lintas program dan lintas sektoral untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat dan selanjutnya membentuk perilaku hidup sehat dan bersih bagi peserta didik baik di sekolah maupun di masyarakat.  Pembinaan UKS  berupa pendidikan kesehatan kepada siswa dan guru yang  dilaksanakan oleh institusi  pendidikan bekerjasama  dengan institusi kesehatan penting sekali dalam meningkatkan derajat kesehatan siswa dan selanjutnya dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Sosialisasi UKS kepada pimpinan dan guru-guru sekolah diharapkan dapat meningkatkan pemahaman tentang pentingnya UKS dan selanjutnya memberikan dukungan kepada program pemerintah tersebut. Begitu juga dengan penyuluhan kesehatan secara kontinu dan memberikan  pelatihan UKS, khususnya Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja PKPR) kepada siswa terpilih sebagai Kader Kesehatan. Pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, informasi yang didapatkan untuk prilaku hidup bersih sehat melalui program usaha kesehatan sekolah. begitu juga halnya dengan pengetahuan siswa mengenai UKS. Remaja (KKR) diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap terhadap UKS dan masalah kesehatan remaja. Selanjutnya KKR dapat menyampaikan informasi kesehatan kepada siswa lain dan memberikan layanan konseling (peer konseling) kepada siswa yang menghadapi masalah dengan dimonitor secara rutin oleh tenaga kesehatan bekerjasama dengan staf pengajar di institusi pendidikan kesehatan.  
Adapun manfaat dan tujuan dari uks adalah:Tujuan Umum:Meningkatkan kemampuan perilaku hidup bersih dan sehat, dan derajat kesehatan siswa serta menciptakan lingkungan yang sehat, sehingga memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan yang harmonis dan optimal.Tujuan Khusus:Memupuk kebiasaan perilaku hidup bersih dan sehat dan meningkatkan derajat kesehatan siswa, yang mencakup :1.      Memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk melaksanakan prinsip hidup bersih dan sehat serta berpartisipasi aktif di dalam usaha peningkatan kesehatan di sekolah, di rumah tangga maupun di lingkungan masyarakat.2.       Sehat fisik, mental maupun sosial.3.       Memiliki daya hayat dan daya tangkal terhadap pengaruh buruk penyalahgunaan NAPZADengan adanya uks disekolah memudah kan siswa yang sakit untuk mendapatkan pertolongan pertama yang diberikan oleh petugas yang ada di uks. Manfaat lain dari uks itu sendiri adalah dengan mengadakan pemeriksaan secara teratur dan berkala terhadap siswa maupun lingkungan sekolah. Kebersihan uks sekolah dapat mencerminkan kegiatan yang ada didalamnya. Uks yang baik sebaiknya memiliki sarana prasarana yang lengkap, pertukaran udara yang lancar, kebersihan yang baik, pencahayaan yang cukup, dan selalu diadakan pembaharuan-pembahauan terhadap kegiatan yang akan dilakukan. Pelayanan yang diberikan oleh petugas uks sebaiknya diperhatikan kondisi siswa yang membutuhkan.TRIAD UKS tersebut meliputi:Pengadaan dan Pengawasan Sarana Prasarana Pendukung UKS1.Renovasi Ruang UKS2.Renovasi Kamar Mandi / WC3.Merawat Kebun Sekolah4.Mengatur Kantin5.Merawat dan mengatur Taman6.Mengatur dan menyesuaikan kebutuhan perlengkapan kelas7.Mengatur dan menyesuaikan kebutuhan perlengkapan UKSMasalah-masalah yang sering terjadi disekolah adalah sebagai berikut:1. Setiap hari ada siswa yang sakit (sakit ringan)2. Tidak semua dirujuk di Puskesmas3. Bila yang sakit banyak, ruangan UKS tidak memenuhi syarat.Adapun pemecahan masalah yang dapat dilakukan adalah:1. Pertolongan pertama diberikan bantuan obat-obatan ringan sesuai dengan kebutuhan2. Bila sakitnya parah baru diberi surat rujukan ke Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat3.Yang sakitnya agak berat diperbolehkan di ruangan UKS atau berobat di Puskesmas

Peradangan Payudara Pada Ibu Menyusui (Mastitis)


Salah satu upaya yang akan dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2010 adalah meningkatkan kesehatan khususnya upaya untuk meningkatkan kesehatan ibu. Keberhasilan upaya tersebut dapat dilihat dari penurunan angka kematian ibu, karena upaya penurunan angka kematian ibu serta peningkatan derajat kesehatan ibu tetap merupakan prioritas utama dalam pembangunan kesehatan menuju tercapainya Indonesia Sehat 2010 (Depkes RI, 2001).
Masih banyak kematian ibu terjadi di negara berkembang termasuk Indonesia, walaupun upaya untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) sudah banyak dilakukan tetapi hasilnya belum optimal. Sebab utama lambatnya penurunan angka kematian ibu, antara lain terlalu banyaknya kegiatan yang dilaksanakan dengan sumber daya yang terbatas dan belum optimalnya kualitas pelayanan yang disediakan baik oleh fasilitas kesehatan pemerintah maupun swasta. Sehingga dimasa mendatang perlu ditetapkan dan dilaksanakan kegiatan prioritas yang mempunyai dampak langsung terhadap penurunan kematian ibu berdasarkan permasalahan yang ada.
Kematian Ibu (AKI) menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup. Untuk dapat mencapai target tersebut diperlukan usaha yang tidak mudah karena berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) adalah 307 per 100.000 kelahiran hidup sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB) tahun 2003  tercatat 35 per 1000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu dan bayi adalah yang tertinggi di Asia Tenggara. Pemerintah menargetkan pada tahun 2009 AKI menjadi 226 per 1000 kelahiran hidup. Sebagai penyebab kematian ibu yang terbanyak adalah  disebabkan oleh komplikasi obstetri seperti perdarahan yaitu sebesar 28 %, hipertensi  pada  kehamilan  sebesar 13 %, komplikasi abortus sebesar 11 %, infeksi / sepsis sebesar 10 % dan partus lama sebesar 9 % (Siswono, 2005).
Infeksi sebagai salah satu penyebab kematian ibu dapat terjadi selama masa kehamilan, persalinan dan nifas. Salah satu bentuk infeksi yang terjadi dalam masa nifas adalah infeksi yang terjadi pada payudara yaitu mastitis. Hal ini dapat dideteksi dini, dicegah maupun ditanggulangi agar tidak terjadi komplikasi yang lebih lanjut. Komplikasi yang biasanya timbul yaitu mastitis.
Mastitis adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri dan biasanya mengenai payudara. Umumnya gangguan ini dialami oleh ibu-ibu yang menyusui. Biasanya muncul antara minggu kedua sampai keenam setelah persalinan. Namun, masalah ini juga dapat muncul lebih awal dari waktu tersebut atau lebih lama lagi (Jane, A. Morton MD, 2002).
Semakin disadari bahwa pengeluaran ASI yang tidak efisien akibat teknik menyusui yang tidak benar menunjukkan penyebab yang penting, tetapi dalam pikiran banyak petugas tenaga kesehatan, mastitis dianggap sama dengan infeksi payudara. Mereka sering tidak mampu membantu wanita penderita mastitis untuk menyusui yang sebenarnya tidak perlu. Ada 2 penyebab utama mastitis yaitu statis ASI yang infeksi statis ASI biasanya menunjukkan penyebab primer yang dapat disertai / berkembang menuju infeksi (WHO, 2002).
Adapun penyebab mastitis adalah cara menyusui yang kurang baik dapat menimbulkan berbagai macam masalah baik pada ibu maupun pada bayinya misalnya puting susu lecet dan nyeri, radang payudara (mastitis), pembengkakan payudara yang menyebabkan motivasi untuk memberikan ASI berkurang sehingga bayi tidak mendapatkan ASI yang cukup dan akhirnya mengakibatkan bayi kurang gizi (Huliana, 2003).
Cara menyusui yang baik, penting sekali untuk keberhasilan menyusui, praktek cara menyusui yang baik dan benar perlu dipelajari oleh setiap ibu karena menyusui itu bukan salah satu hal yang reflektif dan instingtif, tetapi merupakan suatu proses. Proses menyusui yang baik bukan hanya untuk ibu yang baru pertama kali melahirkan, tetapi juga untuk ibu yang pernah menyusui anaknya.
Studi terbaru menunjukkan kasus mastitis meningkat hingga 12 – 35 % pada ibu yang puting susunya pecah-pecah dan tidak diobati dengan antibiotik. Namun bila minum obat antibiotik pada saat puting susunya bermasalah kemungkinan untuk terkena mastitis hanya sekitar 5 % saja. Menurut penelitian Jane A. Morton, MD tahun 2002,bahwa kasus mastitis terjadi pada tahun pertama sesuai persalinan yakni sekitar 17,4 % dan sekitar 41 %. Kasus mastitis justru terjadi pada bulan pertama setelah melahirkan (Jane A. Morton MD, 2002).
Penelitian terbaru menyatakan bahwa mastitis dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui menyusui. Mastitis dan abses payudara dapat terjadi pada semua populasi, dengan tanpa kebiasaan menyusui, tetapi biasanya dibawah 10 % sebagian besar laporan menunjukkan bahwa 75 % sampai 95 % kasus terjadi dalam 12 minggu pertama.
Mastitis sangat umum di kalangan perempuan menyusui. WHO memperkirakan bahwa meskipun insiden bervariasi antara 2,6% dan 33%, prevalensi global adalah sekitar 10% dari perempuan menyusui. Kebanyakan ibu yang mengembangkan mastitis biasanya melakukannya dalam beberapa minggu pertama setelah melahirkan. Sebagian besar payudara infeksi terjadi dalam bulan pertama atau kedua setelah pengiriman atau pada saat penyapihan. Namun, dalam kasus langka itu mempengaruhi perempuan yang tidak menyusui.
Berdasarkan hasil penelitian persentasi cakupan perempuan menyusui dengan mastitis di Amerika Serikat dari tahun 1994 – 1998 terdapat ibu post partum didapatkan 9,5 % melaporkan dirinya mastitis (American Journal, 2002).
Menurut data WHO Indonesia sebagai salah satu negara berkembang di dunia cakupan persentasi kasus mastitis pada perempuan menyusui juga mencapai 10 %. Sedangkan di Provinsi Aceh belum diketahui persentase data statistik tentang cakupan kasus mastitis pada ibu post partum. 
Mastitis dapat terjadi pada semua populasi dengan atau tanpa kebiasaan menyusui. Menurut penelitian, gangguan yang pada umumnya terjadi pada tahun pertama seusai  persalinan adalah mastitis, yakni sekitar 17,4 %, dan sekitar 41 % kasus mastitis justru terjadi pada bulan pertama setelah melahirkan (Poedianto, 2002).
Mastitis yaitu infeksi parenkmal kelenjar mammae pada masa nifas dan menyusui. Insidennya sekitar 2 %, gejala-gejala mastitis supuratif jarang muncul sebelum sampai akhir minggu ketiga atau keempat. Infeksi hampir selalu unilateral dan pembengkakan bermakna biasanya mendahului inflamasi. Payudara menjadi keras dan memerah, dan sang ibu mengeluhkan nyeri. Sekitar 10 % mastitis dengan  abses mammae biasanya parah. Mastitis biasanya disebabkan oleh staphilokokus aureus. Pengobatan dilakukan dengan antibiotik (Suheimi, K, 2007).
Mastitis sangat mudah dicegah bila menyusui dilakukan dengan baik sejak awal untuk mencegah keadaan yang meningkatkan statis ASI, dan bila tanda ini seperti bendungan, sumbatan saluran payudara dan nyeri puting susu harus diobati dengan cepat.
Sama dengan penyakit lain, mastitis bisa dihindari jika ibu yang baru melahirkan cukup istirahat dan bisa secara teratur menyusui bayinya agar payudara tidak menjadi bengkak. Gunakan Bra yang sesuai dengan ukuran payudara. Serta usahakan untuk selalu menjaga kebersihan payudara dengan cara membersihkan dengan kapas dan air hangat sebelum dan sesudah menyusui.

DAFTAR PUSTAKA

 


Am Fam Physician. 2008. American Academy of Family Physicians. Dapat diakses di http:www.aafp.org/afp/20080915/727/htm.

American Journal of Epidemiologi. 2002. The Johns Hopkin Unversity School of Hyeiena and Public Healt. Dapat diakses di http:aje.oxfordjournals.orf.

Arman, Chaniago, Y.S. 2002. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Cetakan V. Bandung : CV. Pustaka Setia.

Bobak dkk., 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas, Edisi 4. Jakarta : EGC.

Departemen Kesehatan RI, 2002. Profil Kesehatan Ibu dan Anak . Jakarta : Depkes RI.

Departemen Kesehatan RI. 2003. Jurnal Kesehatan Masyrakat : Data AKI dan AKB.Jakarta : Depkes RI.

Kompas. 2007. Informasi Kesehatan. Dapat diakses di http:www.kompas. com/kompas-cetak/0705/05/fokus/35044261.htm.

Soekijo, Notoatmodjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Sugiarto. Bertha. 2002. Data WHO, Mastitis; Penyebab dan Penatalaksanaan (Alih Bahasa). Jakarta : Widya Medika.

Suhemi. K. 2007. Konseling Kesehatan. Dapat diakses di ksuhemi. blogspot.com/2007/10/konseling.

Tim Fokus Media. 2003. UU RI Tentang Sisidiknas 2003. Bandung : Fokus Media.